Kamis, 23 Mei 2013

Indonesia Membangun PLTN. Mungkinkah?

Guna mendukung pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Semenanjung Muria Jawa Tengah 2016 maka dibuatlah 3 unit reaktor riset, yang salah satunya adalah Reaktor RSG-GAS di Serpong. Dua kegiatan utama dalam Reaktor RSG-GAS tersebut adalah Manajemen Teras dan Fisika Reaktor.

Di balik kesuksesan dua kegiatan utama tersebut ada sosok Surian Pinem, yang hari ini (20/4) dikukuhkan menjadi Profesor Riset Bidang Fisika Reaktor Nukir bersama 2 peneliti Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) di Gedung BATAN, Jakarta (20/4).
"Optimasi reaktor RSG-GAS, merupakan modal dasar untuk menuju pada pemahaman dan penguasaan teknologi desain dan keselamatan teras reaktor PLTN pertama di Indonesia," kata Surian saat orasi ilmiahnya yang berjudul Litbang Manajemen Teras dan Fisika Reaktor RSG-GAS untuk Mendukung PLTN Pertama di Indonesia.

Lebih lanjut ia mengatakan bahwa tujuan manajemen teras adalah membentuk konfigurasi teras berikutnya yang aman dan mewakili tujuan desain, seperti reaktifitas lebih yang cukup untuk satu siklus operasi. Sedangkan kegiatan litbang fisika reaktor meliputi faktor perlipatan efektif, nilai reaktifitas, batang kendali, fluks dan spektrum neutron, dan parameter kinetik.

"Dengan demikian, perhitungan fisika reaktor dan manajemen teras memegang peranan yang sangat penting dalam pengoperasian reaktor nuklir yang aman dan handal. Keduanya bisa dikatakan jiwa dari keselamatan teras reaktor nuklir," kata Surian.

Dengan pengukuhan ini Surian yang menjadi orang 261 dalam Komunitas Peneliti Nasional dan Profesor Peneliti ke-39 di BATAN. Dua peneliti BATAN lain yang juga dikukuhkan sebagai Profesor Riset adalah Sugiarto Danu di bidang Polimerisasi sebagai orang ke-260 dan 38 dan Sigit untuk Bidang Teknik Kimia urutan ke-262 dan 40. Mereka dikukuhkan oleh Kepala LIPI selaku Ketua Majelis Pengukuhan Profesor Riset Umar Anggoro Jeni.

BATAN Jamin PLTN Aman

Badan Tenaga Nuklir Nasional menjamin keamanan pembangkit listrik tenaga nuklir atau PLTN, yang menurut rencana akan dibangun di Muria, Jawa Tengah.

Sistem keamanan yang digunakan adalah konsep pertahanan mendalam atau defense in depth, yaitu mencegah dan mendeteksi secara dini adanya kecelakaan agar tidak terjadi lepasan radioaktif.

"Segala persyaratan untuk menjamin keselamatan PLTN tertuang dalam laporan analisis keselamatan. PLTN yang akan dipakai di Indonesia harus aman, dan pasti akan aman," kata Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) Hudi Hastowo seusai acara perayaan Hari Ulang Tahun Ke-49 Batan, Rabu (5/12) di Jakarta.

Cara menjaga radioaktif agar tidak terlepas ke lingkungan adalah dengan sistem pertahanan berlapis sebagai upaya pertahanan mendalam. Mulai dari bangunan yang dibangun berlapis, matriks bahan bakar, kelongsong, sistem pendingin, bejana reaktor, hingga lapisan paling luar, yaitu pengungkung.

Setelah memasuki generasi III, sistem keselamatan mengandalkan konsep human machine interface, yaitu sistem keselamatan yang otomatis. "Misalnya ketika terjadi gempa, kebakaran, atau ledakan, secara otomatis reaktor akan mati sehingga keamanannya terjamin," ujarnya.

Resiko terlalu besar

Ketua Masyarakat Peduli Energi dan Lingkungan Budi Sudarsono mengatakan, Pemerintah Indonesia masih belum menentukan limbah radioaktif yang disimpan akan diolah kembali atau hanya ditimbun sampai tak aktif lagi. Jika alternatif kedua yang ditempuh, berarti membutuhkan waktu hingga 40 tahun.

Sementara itu, pengampanye tambang dan energi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Pius Ginting, menyampaikan, walaupun PLTN dinilai aman, risiko atau kerugian PLTN tetap lebih besar.

Pius mencontohkan, PLTN lebih boros air 35-80 persen ketimbang pembangkit listrik lain, angkanya dalam satu tahun mencapai jutaan liter. Ketika air yang telah digunakan dibuang ke laut, suhu yang tinggi dapat mengganggu ekosistem air.

Terhadap lingkungan, PLTN juga tidak memiliki andil pengurangan emisi yang signifikan. Dari sekitar 400 PLTN yang ada di dunia, jika jumlahnya dikalikan dua, hal itu hanya mengurangi efek gas rumah kaca 5 persen.

Secara ekonomi, nuklir justru membutuhkan dana lebih besar daripada energi terbarukan lain, seperti tenaga surya, angin, atau biofuel. Cadangan uranium di permukaan hanya bisa digunakan dalam jangka waktu 50 tahun, selebihnya harus menggali lebih dalam lagi yang berarti membutuhkan dana lebih besar.

Sumber : Kompas


http://www.alpensteel.com/article/54-111-energi-nuklir-pltn/977--pltn-dibangun-di-indonesia-mungkinkah-.html

Rabu, 08 Mei 2013

Nanoteknologi Harapan Manusia di Masa Depan

 Nanoteknologi telah menjadi harapan umat manusia di masa depan dalam menyelesaikan seluruh permasalahan teknologi yang dihadapi guna menyongsong sebuah era baru. Dengan nanoteknologi, material dapat didesain secara bebas sedemikian rupa dalam orde nano sehingga memiliki seluruh aspek dari sifat-sifat yang diinginkan tanpa terjadi pemborosan atom-atom atau molekul-molekul yang tidak diperlukan. Hal itu dikemukakan Ketua Masyarakat Nanoteknologi Indonesia Pusat Penelitian Fisika LIPI, Dr. Nurul Taufiqu Rochman, ketika bertindak sebagai pembicara utama pada seminar Lintas Klaster dan Pusat Studi UGM di ruang sidang I LPPM UGM Yogyakarta. Menurut peneliti LIPI itu, aplikasi nanoteknologi akan membuat revolusi baru dalam dunia industri. Oleh karenanya, diyakini bahwa persaingan global akan dimenangkan oleh negara-negara yang telah menguasai nanoteknologi dan mengintegrasikan dalam seluruh aspek kehidupan bangsanya. Dengan demikian, Indonesia harus segera memulai melakukan langkah strategis mempersiapkan infrastruktur guna pengembangan nanoteknologi. Beberapa penelitian yang akan menjadi cikal bakal nanoteknologi telah dimulai di beberapa lembaga riset (LIPI, BATAN, BPPT, LAPAN dan lain-lain) atau universitas (ITB, UI, ITS, Unand, UGM dan lain-lain). Sementara itu, masih menurut Ketua Masyarakat Nanoteknologi Indonesia tersebut, telah diketahui bahwa di antara metoda sangat sederhana untuk mendapatkan nanopartikel ialah ball mill. Teknik itu menggunakan pendekatan top down untuk menghancurkan partikel-partikel bubuk sampai berukuran nanometer. Disamping berukuran nano, partikel yang diperoleh juga memiliki fase tidak setimbang seperti amorfas atau larutan padat super jenuh, tambahnya. Ditandaskan oleh Nurul, untuk waktu yang lama dan jumlah nanopartikel, yang sedikit menjadi kendala utama pembuatan dengan teknik ball mill pada umumnya. Dewasa ini untuk mendapatkan nanopartikel dalam waktu yang relatif pendek dan dalam jumlah yang relatif banyak digunakan high ball mill, seperti planetary ball mill.
Penulis : Bambang Unjianto. Sumber : Suara Merdeka (28 Desember 2005)
Tahun: 2006
http://www.fisika.lipi.go.id/in/?q=node/392785